Sifat kelahiran Nabi
Terdapat banyak riwayat yang menceritakan tentang kondisi lahirnya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, namun sebagiannya adalah riwayat-riwayat yang lemah. Diantaranya :
- Riwayat yang menceritakan bahwasanya beliau dilahirkan dalam kondisi tangannya seperti duduk bersandar dan matanya melihat ke atas langit, kondisi yang tidak wajar seperti bayi biasanya. Riwayat seperti ini lemah, tidak bisa dijadikan sandaran.
- Riwayat yang menceritakan bahwasanya ketika beliau dilahirkan kemudian diletakkan di atas batu maka tiba-tiba batu itu pecah agar Nabi tetap melihat ke atas.
- Riwayat yang menceritakan bahwasanya ibunya tatkala melahirkannya tiba-tiba jimat-jimat yang dipakainya yang terbuat dari besi menjadi terpotong-potong.
- Riwayat yang menceritakan bahwasanya ibunya melihat dalam mimpinya ada yang menyuruhnya agar menamai anaknya dengan Muhammad.
- Riwayat yang menceritakan bahwasanya tatkala Nabi dilahirkan maka bergetarlah istana raja Persia.
- Riwayat yang menceritakan bahwasanya tatkala Nabi dilahirkan api yang disembah oleh kaum Majusi padam
- Riwayat yang menceritakan bahwasanya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dilahirkan dalam keadaan sudah tersunat. Riwayat ini berasal hadits yang lemah, dan tidak bisa dijadikan dalil. Ada pula riwayat lain bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam lahir kemudian pada hari ke-7 kakeknya menyunat beliau. Riwayat ini pun juga lemah, hanya saja sanadnya lebih baik daripada riwayat tentang Nabi lahir dalam kondisi sudah tersunat. (Lihat As-Sirah An-Nabawiyah As-Shahihah 1/100). Dan hal inilah yang lebih sesuai dengan kebiasaan orang Arab dimana tradisi mereka adalah menyunat anak-anak mereka ketika masih kecil. Lagi pula seandainya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dilahirkan dalam keadaan sudah disunat niscaya akan menimbulkan kegemparan di tengah orang-orang Quraisy, tentu saja akan semakin memudahkan mereka untuk beriman kepada Nabi sejak lahir. Hal ini menunjukkan bahwa beliau lahir seperti biasa, tidak dalam kondisi sudah disunat. Begitupun yang menamai Nabi dengan Muhammad adalah kakeknya sebagaimana datang dalam sebagian riwayat.
Ada riwayat yang shahih yang berkaitan dengan kelahiran Nabi, yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
دَعْوَةِ أَبِي إِبْرَاهِيمَ وَبِشَارَةِ عِيسَى قَوْمَهُ، وَرُؤْيَا أُمِّي الَّتِي رَأَتْ كَأَنَّهُ خَرَجَ مِنْهَا نُورٌ أَضَاءَتْ لَهُ قُصُورُ الشَّامِ
“Aku adalah doanya kakekku Ibrahim, kebar gembira yang dikabarkan oleh Nabi Isa kepada kaumnya, dan mimpi ibuku yang ia lihat, seakan-akan keluar darinya cahaya yang menyinari istana-istana negeri Syam” (HR Ahmad no 17163 dan Al-Bazzaar no 4199 dari sahabat Al-‘Irbaad bin Sariyah as-Sulami)
Dalam riwayat yang lain ;
رَأَتْ أُمِّي كَأَنَّهُ خَرَجَ مِنْهَا نُوْرٌ أَضَاءَتْ مِنْهُ قُصُوْرَ الشَّام
“Ibuku melihat seakan-akan keluar darinya cahaya yang menyinari istana-istana negeri Syam” (HR Ibnu Sa’ad dalam At-Thabaqat al-Kubro 1/102 dari sahabat Abu Umamah Al-Bahili dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Dalam riwayat yang lain :
دَعْوَةُ أَبِي إِبْرَاهِيمَ، وَبُشْرَى عِيسَى وَرَأَتْ أُمِّي حِيْنَ وَضَعَتْنِي سَطَعَ مِنْهَا نُوْرٌ أَضَاءَتْ لَهُ قُصُوْرُ بُصْرَى
“(awal perkaraku) adalah doa ayahku (kakekku) Ibrahim ‘alaihis salam dan kabar gembira (yang disampaikan oleh Isa ‘alaihis salam), dan ibuku tatkala melahirkan aku dia melihat cahaya keluar darinya yang menerangi istana-istana Bashroh” (HR Ibnu Sa’ad dalam At-Thabaqat al-Kubro 1/102)
Maksud dari hadits ini adalah yang pertama kali memberi isyarat akan munculnya Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam adalah kakeknya yaitu Ibrahim ‘alaihis salam di dalam doanya agar Allah mengutus seorang nabi bagi kaum Arab (sebagaimana Allah sebutkan dalam surat Al-Baqarah : 129). Selain itu Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam juga dikenalkan bahkan disebut namanya “Ahmad” oleh nabi penutup bani Israil yaitu Nabi ‘Isa ‘alaihis salam (sebagaimana Allah sebutkan dalam surat Ash-Shaff : 6). Demikian juga ibunya yang tatkala sedang mengandungnya ia melihat cahaya keluar darinya yang menyinari istana-istana negeri Syam. Lalu ibunya pun menceritakakan dan menyebut-nyebut tentang Nabi di masyarakat Arab. (Lihat penjelasan Ibnu Katsir dalam tafsir beliau 1/445)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata :
وَتَخْصِيصُ الشَّامِ بِظُهُورِ نُورِهِ إِشَارَةٌ إِلَى اسْتِقْرَارِ دِينِهِ وَثُبُوتِهِ بِبِلَادِ الشَّامِ، وَلِهَذَا تَكُونُ الشَّامُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ مَعْقِلًا لِلْإِسْلَامِ وَأَهْلِهِ، وَبِهَا يَنْزِلُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ
“Adapun pengkhususan dengan nampaknya cahaya beliau di negeri Syam adalah sebagai isyarat akan tetap dan kokohnya agama beliau di negeri Syam. Oleh karena itu, negeri Syam di akhir zaman merupakan tempat bercokolnya Islam dan penganutnya. Dan di negeri Syamlah akan turun Isa bin Maryam” (Tafsir Ibnu Katsir 1/445)
Hari lahir Nabi
Tidak ada perselisihan di kalangan para ulama bahwa Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dilahirkan pada hari Senin. Dalam hadits yang shahih riwayat Muslim, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam berpuasa setiap hari Senin, kemudian beliau ditanya tentang alasan beliau berpuasa pada hari Senin, beliau berkata:
ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ، وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ
“Karena hari Senin adalah hari dimana aku dilahirkan dan hari dimana aku diutus atau wahyu turun kepadaku” (HR Muslim no 1162)
Selain bentuk syukur Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam karena hari Senin adalah hari yang mulia dimana beliau dilahirkan dan hari beliau diturunkan wahyu, pada hari tersebut malaikat juga mengangkat amalan. Dalam hadits yang lain tatkala beliau ditanya tentang sebab beliau berpuasa pada hari senin dan kamis maka beliau berkata :
ذَانِكَ يَوْمَانِ تُعْرَضُ فِيهِمَا الْأَعْمَالُ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ (وفي رواية : يرفع) عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Kedua hari tersebut adalah hari dimana amalan-amalan dipaparkan kepada Rabbul ‘alamin. Dan aku suka amalanku dipaparkan (dalam riwayat : diangkat) sementara aku dalam kondisi berpuasa” (HR At-Tirmidzi no 747, An-Nasai no 2357, dan Ahmad no 21753)
Sehingga ada beberapa sebab mengapa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam berpuasa pada hari Senin, diantaranya:
- Para malaikat mengangkat amalan di hari tersebut
- Hari dimana Nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam dilahirkan
- Hari diturunkannya wahyu kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Tanggal Nabi dilahirkan?
Ada 2 pendapat di kalangan para ulama pada bulan apa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dilahirkan:
⑴ Sebagian berpendapat bahwa beliau dilahirkan pada bulan Ramādhan.
Disebutkan dalam sebuah hadits bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam diutus pada bulan Ramadhān, tatkala itu beliau berusia 40 tahun. JIka dihitung mundur 40 tahun ke belakang maka semestinya beliau juga lahir persis pada bulan Ramadhān, agar ketika beliau diutus usia beliau tepat 40 tahun. Ini pendapat sebagian ulama, namun pendapat ini lemah. (lihat al-Bidayah wa an-Nihaayah 3/376)
⑵ Jumhur ulama berpendapat bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam lahir pada bulan Rabī’ul Awwal, dan inilah pendapat yang kuat.
Mereka yang berpendapat bahwa Nabi lahir di bulan Rabi’ul Awal pun berselisih dengan perselisihan yang kuat tentang kapan tanggal lahirnya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam? Khilaf seputar hal ini disebutkan oleh Ibnu Hisyam, dan juga oleh para ulama besar madzhab Syafi’iyah, seperti An-Nawāwi, Ibnu Katsir, dan Adz-Dzahabi, sebagaimana berikut ini.
- Ada yang mengatakan beliau lahir pada tanggal 2 Rabī’ul Awwal
- Ada yang mengatakan beliau lahir pada tanggal 8 Rabī’ul Awwal. Dan ini pendapat seorang tabi’in Muhammad bin Jubair bin Muth’im
- Ada yang mengatakan beliau lahir pada tanggal 10 Rabī’ul Awwal
- Ada yang mengatakan beliau lahir pada tanggal 12 Rabī’ul Awwal. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama
- Ada yang mengatakan beliau lahir pada tanggal 17 Rabī’ul Awwal (Lihat Al-Bidayah wa an-Nihayah 3/374-375)
Intinya tidak ada dalil yang kuat/shahīh yang menyebutkan kapan Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dilahirkan. Seluruh riwayat-riwayat tersebut tidak ada yang shahīh, demikian pula pendapat-pendapat ulama pun tidak ada yang shahīh. Namun, para ulama nyaris bersepakat bahwa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam lahir pada bulan Rabī’ul Awwal.
Karena itu, orang yang memastikan bahwa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam lahir pada tanggal 12 Rabī’ul Awwal adalah sikap yang tidak tepat, karena terdapat khilaf di kalangan para ulama dimana diantara pendapat tersebut tidak ada yang bisa dipastikan. Berbeda dengan wafatnya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, beliau wafat pada hari Senin tanggal 12 Rabī’ul Awwal.
Dari sini tidak ada kelaziman seperti yang disangka oleh sebagian orang bahwasanya kita harus merayakan hari kelahiran Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Hal ini dikarenakan tanggal lahir Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam pun diperselisihkan oleh para ulama. Terlebih lagi para shāhabatpun dahulu tidak merayakan hari kelahiran Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Apabila kita memerhatikan orang-orang yang merayakan hari kelahiran Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, akan dijumpai tiga model, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama:
⑴ Bersyukur dengan lahirnya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam sesuai dengan sunnah. Yaitu dengan puasa setiap hari Senin setiap pekan.
Tatkala Nabi ditanya kenapa Beliau berpuasa pada hari Senin, maka beliau menjawab: “Itu hari dimana aku dilahirkan.” Oleh karena itu, diantara rasa gembira dan syukurnya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah beliau berpuasa pada hari Senin, karena beliau dilahirkan pada hari Senin. Kitapun sepatutnya demikian, jika kita ingin bergembira dengan lahirnya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, caranya bukan dengan perayaan tahunan, tetapi setiap pekan kita bergembira dan bersyukur dengan cara berpuasa.
⑵ Mengadakan acara maulid dengan membaca sejarah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam kemudian beramal shālih pada hari tersebut (yaitu pada setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal setiap tahunnya), misalnya dengan membagikan makan kepada faqir miskin. Jika cara bermaulid adalah seperti cara ini maka banyak ulama syafi’iyah mutaakhirin yang membolehkannya, seperti Abu Syamah (wafat 665 H), Al-‘Iraqi, Al-Hafiz Ibnu Hajar, As-Sakhawi, As-Suyuthy, dan Al-Qasthalani rahimahumullah.
Sebagian ulama menyatakan bahwa acara maulid adalah acara bid’ah yang mungkar seperti pendapat Al-Fakihani (wafat 734 H), Ibnul Haaj (wafat 737 H), Asy-Syathibi (wafat 790 H), Ibnu Taimiyyah, dan Asy-Syaukani rahimahumullah. Hal ini karena acara maulid adalah perkara yang baru yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi, para sahabat, dan para tabi’in, bahkan tidak pernah dikerjakan oleh para imam Madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad). Selain itu amalan ini adalah bentuk bertasyabbuh dengan kaum Nashrani yang merayakan hari kelahiran Nabi Isa, hari kabangkitan Nabi Isa, dan hari pengangkatan Nabi Isa.
Dan yang sering tersebar di Indonesia adalah bentuk yang ke ⑶ yang banyak diingkari oleh ulama termasuk ulama Syāfi’īyyah yaitu:
⑶ Mengadakan acara maulid dengan berhura-hura (berlebih-lebihan) sampai bercampur di dalamnya kemungkaran-kemungkaran.
Oleh karena itu pendiri NU, Kyai Hāsyim Asy’āriy, beliau menulis buku tentang peringatan-peringatan yang penting akan kemungkaran yang terjadi pada acara maulid. Diantaranya beliau menyebutkan adanya music. Padahal seluruh ulama 4 madzhab mengharamkan musik, apalagi ulama Syāfi’īyyah. Bahkan fitnah sekarang adalah dakwahpun dengan musik. Sampai-sampai Imām Syāfi’ī dalam kitabnya Al-‘Umm menyatakan: “Kalau ada orang yang alat musiknya dicuri maka pencuri tadi tidak perlu dipotong tangannya karena hukum dia mencuri alat musik sama dengan mencuri bir dan mencuri babi (sama-sama perkara haram).”
Kemudian dalam kitab Al-‘Umm juga Imām Syāfi’ī mengatakan: “Barangsiapa merusak alat musik maka dia tidak perlu mengganti.”
Sampai-sampai Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya Az-Zawājir ‘an Iqtirāfil Kabāir memasukkan memainkan alat musik termasuk dosa-dosa besar. Karena perbuatan tersebut melalaikan dan syaithan ingin agar kita terlalaikan.
Bagaimana umat bisa tegak sementara mereka terlalaikan dan sibuk dengan musik dan lupa membaca Al-Qurān serta hadits-hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Demikianlah kemungkaran yang terjadi di sebagian acara maulid Nabi yang diingkari ulama. Diantaranya, acara maulid tersebut dilakukan dengan ikhtilat antara laki-laki dan perempuan, tabdzir (berlebih-lebihan), adapula yang membuat patung dan pawai. Apakah dengan hal-hal ini bisa menambah kecintaan kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam? Belum lagi ketika waktu shalat tiba, shalat berjama’ah tidak ditegakkan.
Jika seseorang ingin mencintai Nabi melalui maulid maka lakukanlah maulid dengan tata cara Nabi dan ini jelas berpahala caranya, yaitu dengan berpuasa pada hari senin di setiap pekannya.
Kelahiran Nabi ini membawa perubahan pada alam semesta. Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengutus Nabi-Nya pada kondisi dan zaman yang sangat rusak, seperti perzinahan yang merebak, meminum khamr, kesyirikan yang tersebar, kerusakan baik di sisi agama maupun moral. Maka inilah waktu yang tepat bagi Allāh Subhānahu wa Ta’āla untuk mengutus Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam sebagaimana diriwayatkan di dalam Shahih Muslim:
اللَّهَ نَظَرَ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ فَمَقَتَهُمْ عَرَبَهُمْ وَعَجَمَهُمْ إِلَّا بَقَايَا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
“Allāh Subhānahu wa Ta’āla melihat kepada penduduk dunia dan Allāh murka kepada mereka, orang Arab maupun orang ‘Ajm kecuali sebagian dari sisa-sisa Ahli Kitab.”
Jakarta, 25-02-1439 H / 14-11-2017 M
Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
www.firanda.com